Konsumen Indoensia dinilai terlalu mudah percaya dengan konten yang mereka lihat (dok. Thinkstock/Winnond) |
JAKARTA- Konsumen Indonesia lebih mudah menerima konten online. Hal inilah yang menjadi alasan mudahnya berita bohong alias hoax mudah tersebar di Indonesia.
"Di era 'berita bohong' [...] 61 persen konsumen Indonesia dengan senang hati mempercayai informasi yang mereka peroleh," demikian tertulis dalam siaran pers Kantar TNS yang diterima CNNIndonesia.com, Rabu (19/10).
Angka tersebut didapat berdasarkan survei yang dilakukan Kantar TNS dalam riset Connected Life 2017.
Tingginya tingkat kepercayaan konsumen Indonesia dengan konten online ini, berbanding terbalik dengan tingkat kepercayaan penduduk dunia. Dimana hanya satu dari tiga (35 persen) penduduk dunia yang menganggap konten yang mereka lihat dapat dipercaya.
Tak peduli data pribadi
Selain mudah percaya, konsumen Indonesia juga tak terlalu peduli dengan data pribadi mereka dan kemungkinan penyalahgunaannya.
Hanya 22 persen konsumen Indonesia yang peduli ketika brand meminta data pribadi. Padahal 43 persen konsumen global begitu kritis saat dimintai data pribadi. Sebanyak 59 persen konsumen Korea menyatakan segan berikan data pribadi.
Data pribadi juga bisa dikumpulkan lewat pemantauan pengguna lewat perangkat yang terhubung dengan internet. Misal lewat smartphone, jejak berinternet di peramban, hingga berbagai perangkat IoT.
Tapi, hanya 15 persen konsumen Indonesia yang peduli kalau perangkat itu bisa digunakan untuk mengoleksi data pribadi. Alasannya, kehadiran perangkat-perangkat ini membuat hidup mereka lebih mudah. Sementara lebih dari setengah konsumen Korea (56 persen) dan Hong Kong (54 persen) menolak perangkat tersebut digunakan untuk mengoleksi data pribadi mereka.
Dengan demikian, konsumen Indonesia dinilai belum menyadari adanya risiko dibalik dari gaya hidup serba terhubung ini. Padahal, konsumen di negara lain skeptis terhadap cara perusahaan menggunakan data pribadi mereka.
Suka chatbot
Gaya hidup konsumen Indonesia yang erat dengan perangkat mobile, membuat konsumen gemar mengobrol dengan chatbot online (45 persen) ketika berhubungan dengan brand. Sementara hanya 17 persen konsumen yang merasa brand perlu memiliki kehadiran offline.
Penerimaan konsumen Indonesia terhadap interaksi dengan chatbot yang ditenagai AI (artificial intelligence) ini juga jauh lebih tinggi daripada negara lain. Di Korea, sebanyak 37 persen konsumen menganggap brand perlu memiliki kehadiran offline untuk memuaskan mereka.
Segan bayar online
Meski gaya hidup konsumen Indonesia sangat terhubung dengan perangkat mobile, namun ketika berbicara soal pembayaran konsumen Indonesia sangat konvensional.
Sebagian besar konsumen masih mengandalkan pembayaran tunai dan peer-to-peer (menggunakan perantara transfer dana pihak ketiga). Hanya 18 persen konsumen Indonesia yang bersedia melakukan pembayaran melalui ponsel.
Maka dibutuhkan solusi inovatif dan kepercayaan terhadap sistem finansial digital agar orang tertarik menggunakan opsi pembayaran modern tanpa tunai.
Survei Kantar TNS dilakukan terhadap 70.000 orang di 56 negara dan melakukan 104 wawancara mendalam. Ini adalah bagian dari riset Connected Life 2017. Riset tersebut mencari tahu mengenai kepercayaan konsumen terhadap brand yang berkaitan dengan empat tema: teknologi, konten, data, dan e-commerce. (CNN)